
loading...
Sebuah film heist yang berlumur ironi. Harry Rawlings (Liam Neeson) dan Veronica (Viola Davis) adalah pasangan yang kontras. Warna kulit mereka jauh berbeda sampai-sampai orang sering bertanya,
“Kalian bertemu di mana?” Meski begitu, keduanya adalah pasangan yang serasi nan hangat. Karena itulah, saat Harry dinyatakan tewas dalam sebuah perampokan yang dilakukannya, Veronica langsung tenggelam dalam kedukaan.
Namun, duka itu berlipat menjadi masalah besar saat dia tahu bahwa uang yang dicuri Harry dan ketiga temannya adalah milik Jamal Manning (Brian Tyree). Jamal adalah politikus yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota dewan kota wilayah ke-18 di Chicago.
Di balik status menterengnya itu, Jamal sesungguhnya adalah bos geng kriminal yang mengerikan. Tangan kanannya adalah adiknya sendiri, Jatemme (Daniel Kaluuya), yang tidak ragu mencabut nyawa siapa pun seenteng membalikkan telapak tangan.
Lawan Jamal dalam perebutan kekuasaan adalah Jack Mulligan (Colin Farrell). Nama Mulligan adalah nama keluarga politikus terkenal di wilayah tersebut. Jack sebenarnya tidak terlalu tertarik terjun ke politik, tetapi garis keluarga turun-temurun dan tekanan ayahnya, Tom Mulligan (Robert Duvall), membuatnya mau tidak mau harus menjalankan perannya itu dengan pengawasan ketat sang ayah. Dalam perebutan panas kursi dewan kota itulah, Veronica ada di tengah-tengahnya.
Dia diancam Jatemme agar segera mengembalikan uang curian suaminya. Veronica pun berpikir cepat. Bermodalkan buku catatan suaminya yang berisi rencana perampokan selanjutnya, dia lalu mengumpulkan para janda rekan suaminya itu.
Tujuannya jelas, yaitu menjalankan aksi perampokan demi membayar “utang” mereka kepada keluarga Manning. Sesungguhnya jalan cerita Widows tidak seringan sinopsis di atas.
Dalam perjalanannya, cerita ini berkelindan dengan banyak isu sosial dan politik, yang jika rajin membaca berita, kisah dalam film ini akan terasa sangat akrab di telinga. Bagai sebuah miniatur negara atau bahkan dunia, Widows memamerkan ragam masalah dan konflik dari lapisan masyarakat paling bawah hingga para elitenya.
Saat para elite bertarung berebut kekuasaan dengan cara kotor, termasuk merapat pada oportunis berkedok pemuka agama dan mencekoki para calon pemilih dengan beragam jargon dan harapan palsu, masyarakat di lapisan bawah tetap harus berjuang sendiri untuk sekadar bisa bertahan hidup.
Para janda, yaitu Linda (Michelle Rodriquez), Alice (Elizabeth Debicki), dan Belle (Cynthia Erivo), adalah gambaran mereka yang berjuang sendiri itu. Mereka adalah para imigran, hidup dalam sistem yang jemawa dan tidak adil.
Dibandingkan kejahatan dan “kekotoran” yang mereka lakukan, seberapa persennyakah jika dinilai dengan kejahatan yang dilakukan para elite? Bahkan, Veronica dan Harry yang hidupnya lebih mapan tetap harus ikut merasakan takdir buruk sebagai pasangan beda ras.
Ketidakadilan itu memang tidak langsung menimpa mereka, tetapi justru pada harta paling berharga, yaitu anak semata wayang mereka. Di ta ngan sutradara peraih Oscar, Steve McQueen (12 Years of Slave ), dan penulis skenario Gone Girl, Gillian Flynn, seluruh masalah serius dalam Widows bisa dira mu dalam tontonan penuh gizi yang tetap enak dinikmati, bah kan berujung pada scene penuh ketegangan.
Keduanya secara perlahan membangun konflik setelah sebelumnya mengumpulkan ce rita dan latar belakang para janda demi mengumpulkan empati penonton untuk mereka. Selain empati untuk para karakter perempuan, Widows juga sukses menarik perhatian untuk para karakter antagonisnya. Daniel Kaluuya adalah yang paling menonjol.
Di sini dia mampu menghilangkan karakter manis dan innocent dalam film Get Out yang laris itu menjadi karakter pembunuh berdarah dingin yang tidak lebay, tetapi tetap mengerikan. Robert Duvall dengan porsi minimalis di layar juga tetap mampu tampil meyakinkan sebagai politikus gaek yang fasis.
Singkat kata, Widows adalah film yang akan mengaduk emosi sejak awal menontonnya. Bukan seperti menonton kisah drama fiksi yang mengharu-biru, melainkan seperti menyak sikan film dokumenter yang menyadarkan bahwa yang tersaji di layar adalah sebuah dramatisasi dari ironi yang nyata adanya.
(don)
No comments:
Post a Comment