Apakah sinema horor seutuhnya menawarkan ketegangan, jump scare, dan kisah tragis berujung balas dendam? Terlepas dari adegan berdarah-darah, ada satu hal yang sejak lama disorot dalam sinema horor. Adakah daya tarik perempuan dalam memacu adrenaline kala menikmati rasa takut dalam menonton film horor?
Ini bukan tentang adegan 'esek-esek' dan sensualitas yang sempat disusupkan dalam film horor lokal beberapa tahun lalu.
Berkaca dari beberapa judul film horor baru seperti Mata Batin (2017), Danur (2017), dan Sebelum Iblis Menjemput (2018). Tokoh utama perempuan dalam ketiga film ini terkesan sebagai sosok hero, mengangkat perempuan sebagai problem solving bagi para makhluk astral yang menyimpan dendam masa lalu terhadap manusia.Chelsea Islan sepanjang film Sebelum Iblis Menjemput nyaris tak menunjukkan sisi feminin dan berperawakan sebagai anak tomboi yang kuat. Lebih-lebih, ada Pevita Pearce sebagai karakter pembanding sekaligus mendongkrak penggemar tergiur untuk menonton. Ada Jessica Mila yang menjadi jembatan permasalahan dalam Mata Batin karena memiliki kekuatan supranatural. Karakter Prilly Latuconsina dalam film Danur pun memegang peran sentral protagonis.
Chelsea Islan dan Pevita Pearce dalam film Sebelum Iblis Menjemput (Foto: Skymedia)
Wajah-wajah ini seperti menjadi transisi baru bagi para sineas dalam membentuk kerangka cerita film horor di Indonesia.
Di sisi lain para pemeran perempuan punya daya tarik personal di kehidupan nyata. Masing-masing dari mereka memiliki penggemar fanatik yang diharapkan mampu mendongkrak penjualan tiket. Berdasarkan basis data angka followers Instagram saja (hingga Januari 2019), Chelsea Islan di angka 7 juta pengikut, Jessica Mila di angka 12 juta, dan Prilly Latuconsina di angkat 25 juta. Di samping mempertimbangkan kualitas akting, tentu angka itu menggiurkan bagi para produser dan sutradara.
Perolehan penonton ketiga film itu berhasil menembus angka 1 juta penonton. Menurut data FilmIndonesia.or.id, Danur menembus angka 2,7 juta penonton, Mata Batin dengan perolehan 1,2 juta penonton, dan Sebelum Iblis Menjemput dengan 1,1 juta penonton. Sekuel Danur tahun lalu mengekor kesuksesan film pertama dengan perolehan 2,5 juta penonton.
Joko Anwar, penulis naskah dan sutradara film box office Pengabdi Setan berpendapat, pemilihan perempuan sebagai tokoh sentral dalam film horor menghadirkan ironi dan empati besar. Daya tarik ini yang berusaha ditampilkan dalam film horor populer sekarang.
Ibu, karakter ikonik dalam film Pengabdi Setan, diperankan oleh Ayu Laksmi (Foto: Rapi Films)
"Perempuan kan memilki beauty, kalau dibentrokkan dengan kengerian akan lebih powerful. Enggak cuma di Indonesia, seluruh dunia juga seperti itu. Kalau laki-laki bisa juga, tapi untuk membuat film itu kadang impact-nya lebih besar kalau misalnya ada ironi di situ," kata Joko Anwar ditemui Medcom.id belum lama ini.
"Sebagai penonton film horor, memang dari dulu banyak hantu perempuan, mungkin asalnya dari ibu. Karena perempuan identik dengan ibu, misalnya. Ibu kan caring, menjaga, melindungi, tiba-tiba dia jadi jahat, efeknya jadi lebih besar," jelas sutradara asal Medan itu.
Formula berbasis konten keluarga sejauh ini sukses menggeser paradigma patriarki dan mengangkat perempuan sebagai tokoh utama. Dibandingkan dengan film horor Indonesia lawas yang menjadikan tokoh sentral perempuan sebagai korban yang dibungkus adegan sensual, menjadikannya makhluk astral, kemudian membalas dendam, kemasan film horor belakangan ini jauh lebaik baik. Terbukti, saat ini makin banyak film horor tanpa bumbu ‘esek-esek’ mampu menembus angka 1 juta penonton.
Soal konten, sutradara Rizal Mantovani yang juga mengarahkan beberapa judul film horor sejak awal tahun 2000-an seperti Jelangkung (2001) dan Kuntilanak (2006) kurang sepakat ketika perempuan dikaitkan sebagai penentu minat penonton terhadap film horor. Dia masih berpangku pada konten cerita.
"Secara kuantitas kita ngomong, lebih banyak perempuan. Tetapi kalau saya pribadi balik lagi ke ceritanya, bukan perempuan atau laki-laki. Ceritanya mau menghadirkan siapa. Apakah dia Si A, Si B, dia seorang laki-laki, perempuan, dia seorang suster? Anak kos? Orang yang punya atau tidak punya orangtua?" kata Rizal ditemui Medcom.id belum lama ini.
"Saya bukan masalah gendernya, tapi karakter itu menarik enggak dengan problema yang akan dihadapi karena semua film termasuk film horor pasti ada problem dari si karakter itu."
"Contohnya kalau saya bilang, walaupun (film) Kuntilanak itu Julie Estelle, tapi Jelangkung yang pertama itu Winky Wiryawan. Cowok."
"Saya selalu mencoba menghadirkan sesuatu yang lebih fresh, sesuatu yang baru. Bukan berarti itu harus CGI (Computer Generated Imagery), bukan berarti itu harus ada special effect,tapi cerita harus menghadirkan sesuatu yang baru," pungkas Rizal.
Mengutip ulasan Beth Younger, Associate Professor of English & Women’s and Gender Studies di Drake University dalam laman The Conversation, terbitan 25 Juni 2017, film horor menjadi genre dengan perempuan sebagai tokoh yang menonjol. Jeritan perempuan sebagai korban diasumsikan masih menjadi konten pokok. Genre ini bertransformasi beberapa kali, dari menjadikan perempuan sebagai korban, kini sebagai pejuang dan protagonis. Formula ini berubah dari penggambaran penyiksaan dalam balutan sensual terhadap perempuan, menjadi lebih substantif dengan mengangkat isu sosial dan memiliki visi estetika.
Saat ini, film horor Indonesia tampak mulai berkiblat pada konten berbasis masalah keluarga, mitos budaya dan tema beragam lain, daripada sekadar bertopang pada para pemeran seksi atau menjual adegan-adegan mengundang hasrat seperti apa yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Hal ini memberi kesan bahwa film horor lokal punya standar kualitas cerita yang baru.
(ASA)
http://hiburan.metrotvnews.com/eksklusif/ybDzyeRK-daya-tarik-perempuan-dalam-film-horor
No comments:
Post a Comment