Pages

Friday, July 13, 2018

Mike Wiluan soal Buffalo Boys: Bioskop Bukan Kelas Sejarah

Jakarta: Latar Jawa atau Nusantara klasik era kolonial bukanlah semesta baru dalam film-film Indonesia. Sebagian besar film mengangkat cerita dramatis bertema patriotik atau kepahlawanan dengan rentetan fakta sejarah.

Namun bagi Mike Wiluan, itu belum cukup. Sineas keturunan Indonesia ini merasa tema kolonialisme dalam lanskap sinema lokal bisa dijelajahi lebih jauh. Dia juga beranggapan, bioskop seharusnya tidak menjadi seperti sebuah kelas, di mana para penonton duduk manis seperti murid dan menyimak pelajaran sejarah.

"Setiap kali saya menonton film bertema kolonial, kolonialnya mungkin sangat condong ke politik atau drama yang menurut saya, tidak terlalu penting. Lebih bagus kita buka pikiran, kita dorong sisi kreatifnya," kata Mike dalam obrolan dengan Medcom.id pada suatu sore di Jakarta Barat, belum lama ini.

Mike ingin memperluas semesta cerita periode klasik itu tanpa harus terpaku sejarah.

"Kita duduk dalam bioskop satu atau dua jam itu, bukan untuk meloncat ke kelas atau belajar lagi. Selama dua jam itu, kita harus loncat ke mimpi, hilang dalam dunia imajinasi. Kenapa harus ada batasan (dalam film latar sejarah), kenapa tidak kita mainkan saja?" lanjutnya.

Kebetulan dia juga suka genre film western. Karena kini genre western tidak hanya Amerika abad ke-19 dan meluas ke bentuk baru seperti spaghetti western atau kimchi western, Mike membawa irisan itu ke dalam cerita baru berlatar Asia Tenggara, khususnya Indonesia era kolonial Belanda.

Singkat cerita, jadilah Buffalo Boys, kisah tentang dua koboi muda dan sang paman, yang diperankan Ario Bayu, Yoshi Sudarso, dan Tio Pakusadewo. Mereka kembali ke tanah Jawa untuk membalas dendam keluarga atas koloni Belanda penguasa desa kelahiran mereka. Mereka juga ingin menegakkan keadilan sesuai prinsip yang mereka anut.

"Kami masukkan banyak roh Indonesia dengan karakter dan budaya Jawa, tetapi ada yang bercampur western. Sebetulnya ada tema yang konsisten antara east dan west, yaitu balas dendam, keadilan, pahlawan kuat, gender, kekuatan lelaki atau perempuan, kesetaraan, dan penghormatan. Semua tema itu relatif umum," terangnya.

Persoalan gender masuk lewat tokoh Kiona, yang diperankan Pevita Pearce. Kiona adalah anak kepala desa yang tidak setuju dengan tatanan sosial, bahwa perempuan harus di rumah.

"Kiona melawan citra itu, bertarung menurut apa yang dia anggap benar, tetapi (orang) di sekitarnya lebih main aman. Akhirnya niat Kiona menjadi nyata setelah bertemu dengan Jamar dan Suwo," ujar Pevita yang ikut mengobrol dengan kami sore itu bersama Mike, Ario Bayu, dan Daniel Adnan.


Adegan film Buffalo Boys (Foto: Infinite Frameworks Studio)

Jika harus dinamai, subgenre untuk Indonesia mungkin bisa disebut satay western. Istilah ini dikenalkan pertama kali oleh kritikus film Maggie Lee, untuk merujuk ke genre baru yang dibawa Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak garapan Mouly Surya. Sebelum Marlina, sebenarnya sudah ada beberapa film lokal dengan pendekatan koboi western, seperti Benyamin Koboi Ngungsi (1975), Koboi Sutra Ungu (1981), dan Koboi Cengeng (1974).

Impian Tiga Tahun

Ide soal koboi dan Jawa era kolonial sudah ada di benak Mike tiga tahun sebelum proyek filmnya dimulai tahun lalu. Waktu itu, dia sudah punya sejumlah gambar konsep. Ario Bayu, yang kini menjadi salah satu pemeran utama, termasuk orang pertama yang tahu rencana Mike sejak awal. Ario mengaku terkesima begitu mendengar dan melihatnya.

"Dia menelpon saya, 'Bro, kita ketemuan yuk, aku punya ide'. Akhirnya kami bertemu di sebuah tempat. Saya langsung terkesima saat dia memberikan gambar-gambar, concept arts, mood board. 'Bro, aku mau bikin film tentang koboi'. Saya kayak (terpana)," kenang Ario.

Sebelumnya, Mike dan Ario memang sudah berkawan dan mengerjakan tiga proyek film/serial bersama. Mike, lewat Infinite Studios, menjadi produser eksekutif untuk Rumah Dara (2009), Dead Mine (2012), dan Serangoon Road (2013). Ketiganya melibatkan Ario sebagai aktor. Mereka bertemu lagi dalam Headshot (2016) garapan Mo Brothers.


Adegan film Buffalo Boys (Foto: Infinite Frameworks Studio)

Cerita dan naskah Buffalo Boys baru dikembangkan setelah jeda beberapa proyek. Mike menyusun naskahnya bersama Rayya Makarim (Jermal, Banyu Biru) dan Raymond Lee (Bajaj Bajuri The Movie, Operation Wedding).

"Sebetulnya, kalau bisa lebih awal, ya lebih awal. Tiga tahun, saya lihat, pas. Bisa kenal Pev (Pevita) juga. Tiga tahun lalu, Pev masih sekolah ya?" ungkap Mike berkelakar. "Kalau saya langsung loncat ke proyek ini dua atau tiga tahun lalu, akan lain cerita."

Proyek ini juga menjadi debut Mike sebagai sutradara film cerita panjang. Mike mengawali karier di departemen pasca-produksi dan efek visual, sebelum kemudian mengembangkan Infinite sebagai studio animasi berskala internasional dan bermitra dengan sejumlah proyek film/serial.

Proyek berjalan progresif pada 2017 setelah sejumlah rekan produksi bergabung, termasuk Screenplay Films dan Zhao Wei Films. Persiapan pemain berlangsung tiga bulan di Jakarta. Selain bedah naskah, mereka berlatih fisik, menyesuaikan kondisi, serta ikut menajamkan dialog naskah serta karakter.

"Aku percaya dengan proses yang lama. Hampir dua bulan latihan berkuda, menembak, mengkondisikan, jadi benar-benar masuk. Pas kami mau syuting, mindset sudah siap," ujar Daniel.

Beberapa set dibangun di kompleks studio Infinite di Batam. Satu set pedesaan dibangun di kawasan Desa Pendoworejo, Kulon Progo yang punya banyak areal persawahan. Desa ini ditemukan setelah mereka menjajaki beberapa lokasi, tetapi gugur karena beberapa detail seperti adanya plastik dan tembok bangunan modern. Referensi utama Mike yaitu atmosfer desa dalam film The Last Samurai (2003).

Kostum adalah bagian dari praproduksi yang diakui Mike, butuh waktu sangat lama. Selain merancang dan memilih bahan, proses ini juga meliputi rekayasa penuaan bahan pakaian supaya pakaian benar-benar menjadi bagian dalam cerita. Hal sama juga dilakukan untuk properti senjata dan bangunan.

"Di rumah preparasi, selalu ada tim yang setiap hari menekan baju supaya kelihatan tua. Enggak ada laundry atau tempat cuci di era itu. Dia (tokoh) harus mencuci sendiri. Kostum harus menjadi karakternya," terang Mike.

Layaknya film-film western, Mike dan penata fotografi John Radel melukis gambar dengan lensa format anamorfik demi menampilkan lanskap luas dan detail yang dalam.


Adegan film Buffalo Boys (Foto: Infinite Frameworks Studio)

Soal efek spesial, Mike memberi prioritas kepada pendekatan efek praktis atau trik visual di lokasi syuting, ketimbang efek visual di komputer saat pasca-produksi. Prinsip "keaslian" ini berlaku pula bagi pemain. Dalam batas tertentu, pemain sebisa mungkin melakukan adegan sendiri tanpa stuntman.

"Sebetulnya, (adegan) kami banyak yang pakai efek visual, tetapi pendekatan kami jangan sampai langsung ke efek visual. Efek praktis kami coba dulu. Stunt juga. Kalau bisa, pemain kami sendiri dengan percaya diri."

Total jumlah pemain dan kru yang terlibat antara 220-230 orang. Jajaran pemain sendiri memang cukup banyak. Selain Ario, Pevita, dan Daniel, ada Yoshi Sudarso, Conan Stevens, Sunny Pang, Reinout Bussemaker, Zack Lee, Alex Abbad, Tio Pakusadewo, Happy Salma, Mikha Tambayong, Donny Damara, El Manik, Hannah Al Rashid, Cullet Eric, serta Donny Alamsyah dan Mike Lucock.

"Kami punya tiga bulan untuk persiapan, dua bulan untuk syuting, tiga bulan lagi untuk pasca-produksi, efek visual, dan sebagainya," terang Mike.

Properti Intelektual Lokal

Upaya menyisir banyak detail produksi telah menunjukkan bahwa proyek ini punya nilai anggaran relatif tinggi untuk ukuran film Indonesia, kendati Mike enggan menyebutkan angka. Apalagi, kisahnya mengambil latar Jawa abad ke-19.

Kenapa detail, seperti tekstur baju hasil cucian sungai, menjadi begitu penting? Dari sisi medium, Mike tidak ingin menyia-nyiakan layar proyeksi bioskop yang lebar.

"Sayang soalnya kalau kita lihat di layar lebar. Ini besar sekali gambarnya," jelas Mike.

Dalam penggalan obrolan lain, Mike menilai industri film Indonesia mengalami kemajuan dalam hal cerita, kualitas teknis, dan pengerjaan. Namun dia menyayangkan, film tentang pahlawan atau ikon Indonesia, seperti Wiro Sableng dan Unyil, masih terlalu sedikit. Faktor ini turut mendorong Mike akhirnya mengarahkan film dengan ceritanya sendiri.

"Kenapa kita enggak bikin sesuatu baru? Sebetulnya ini (Buffalo Boys) kreasi baru yang tidak memuat politik atau ide-ide berat, harus ini, harus itu," ujar Mike.

Bagi Ario, yang sudah tidak asing dengan film-film berlatar sejarah, Buffalo Boys adalah pertunjukan hiburan.

"Film-film kolonial sejarah, kayak Soekarno misalnya, selalu tentang inti sosial atau cerita politik. Nah di sini, (Buffalo Boys) sangat berbeda, di mana itu dipenuhi dengan hiburan," ungkap Ario.

Upaya Mike seperti tak terpisahkan dari ambisi besarnya untuk ikut mendorong industri film lokal berkembang lebih jauh di tingkat internasional. Infinite Studio adalah bagian dari perjalanan menuju ke sana dan Buffalo Boys adalah satu properti intelektual baru milik mereka.

"Saya mau angkat industri kita dengan memperkerjakan anak-anak muda dalam industri ini. Saya masuk ke bidang animasi dulu, habis itu saya mau mendorong film Indonesia dengan saya masuk dalam film Indonesia," ungkap Mike.


Adegan film Buffalo Boys (Foto: Infinite Frameworks Studio)

Dalam kesempatan sore itu, Mike juga bercerita betapa orang sering salah menyangka dia sebagai "bule" alias orang Eropa, padahal punya garis keturunan Indonesia. Kami pun tak luput dari salah mengira.

"Saya sebenarnya orang Indonesia, tetapi sudah lama di Inggris 20 tahun, habis itu kembali ke sini. Ya orang pikir, saya bule yang enggak bisa bahasa Indonesia. Mungkin masih kaku, tetapi sebetulnya saya sangat nasionalis, patriotik dengan negara saya," tukasnya.

Buffalo Boys dijadwalkan rilis di bioskop pada 19 Juli 2018.

(ELG)

Let's block ads! (Why?)

http://hiburan.metrotvnews.com/eksklusif/GNGqJDlk-mike-wiluan-soal-buffalo-boys-bioskop-bukan-kelas-sejarah

No comments:

Post a Comment