Setelah dibebaskan dari tahanan politik Pulau Buru pada 1977, Bachtiar Siagian pernah menyatakan hendak mengawali lagi perjalanannya sebagai sineas. Namun selama 25 tahun berikutnya, karena pemerintah membatasi akses pekerjaan "eks tapol", karya Bachtiar hanya sanggup sejauh naskah film. Itu pun anonim.
Mendiang Bachtiar adalah satu dari sejumlah sineas awal Indonesia pasca-revolusi. Dia tidak belajar film di sekolah formal. Namun selama satu dekade pada 1955-1965, Bachtiar cukup produktif dengan mengarahkan 12 film cerita panjang dan menulis semua naskahnya. Film kelimanya, Turang (1957), memboyong empat Piala Citra termasuk film terbaik dan sutradara terbaik. Hak edar Turang juga dibeli sejumlah negara sosialis.
Nyaris seluruh film karya Bachtiar sudah dilenyapkan, kecuali Violetta (1962) yang hingga kini masih tersimpan di kantor Sinematek.Krishna Sen, dalam buku Indonesian Cinema (1994), menyebut Bachtiar punya peran signifikan dalam perjalanan perfilman Indonesia, terutama dalam hal cerita. Berdasarkan skenario film Bachtiar yang tersisa, ditambah ulasan, wawancara, dan tulisan teoritis dari Bachtiar, Khrisna menduga bahwa film-film Bachtiar, dalam perjalanan, berupaya menggali situasi historis dan sosial tokoh.
Artinya, masalah yang dihadapi tokoh dalam cerita Bachtiar bermula dari masyarakat dan berakhir di masyarakat. Berbeda dengan cerita sutradara Usmar Ismail, yang konfliknya bermula dan berakhir di lingkup batiniah. Misalnya Corak Dunia (Bachtiar) dan Lewat Jam Malam (Usmar), keduanya berkisah tentang eks tentara revolusi yang kembali ke masyarakat.
"Sebagian besar dunia dalam Corak Dunia dibangun oleh yang miskin dan pinggiran, sementara dalam Lewat Jam Malam, bagian masyarakat yang lebih miskin terlihat entah sebagai kumpulan tanpa wajah, atau sesuatu yang tragis dan abnormal, seperti diwakili Puja (tokoh dalam Lewat Jam Malam) dan saudaranya yang gila," tulis Krishna.
Krishna menyebut Bachtiar dan Usmar sama sekali tidak mewakili sutradara film kebanyakan. Karya mereka menjadi semacam standar praktik pembuatan film era itu. Namun keduanya punya perspektif sosial serta perjalanan profesi berbeda. Jika Usmar dianggap sebagai Bapak Perfilman Indonesia, Bachtiar dicap sebagai komunis karena menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Menurut Bachtiar, dalam tulisan memoar yang dimuat Indoprogress, orang-orang film lama kalangan Usmar dan PERFINI tidak suka padanya setelah film Turang meraih prestasi.
"Melancarkan kampanye yang menuduh aku 'orang politik yang masuk film' – dan karena aku anggota seksi film Lekra, aku dituduh komunis, walau aku bukan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia)," tulis Bachtiar, seperti dikutip Indoprogress pada November 2013.
Selain soal pendekatan, Khrisna juga menduga sebagian besar cerita pilihan Bachtiar tidak seperti Usmar, yang mendapat pengaruh kuat Hollywood, atau Djadoeg Djajakusuma, yang berangkat dari budaya tradisional seperti dongeng lokal dan pencak silat. Cerita pilihan Bachtiar dianggap sebagai "kritik kompleks atas praktik budaya tradisional, tetapi bukan dari sudut pandang sosialis utopis atau developmentalist."
Misalnya Karma Pala, proyek ambisius yang sudah punya konsep cerita, tetapi batal diproduksi karena Bachtiar ditangkap pada 1965. Kisahnya tentang pemuda Bali bernama Wayan yang mengalami konflik antara keyakinan warisan masyarakat dengan kesadaran baru atas ketidakadilan.
Wayan punya saudara Ayu, yang bunuh diri setelah diperkosa oleh raja. Wayan tidak kuat menahan rasa bersalah akibat marah terhadap sang raja. Dia pun pergi dari desa ke kota dan mengenal gerilya melawan penjajah. Dari situ, Wayan belajar konsep ideal baru tentang masyarakat.
Dianggap Kiri
Riwayat Bachtiar di Lekra membuat sosoknya kerap dianggap sebagai seniman kiri dengan ideologi yang diusung PKI. Lekra adalah organisasi seniman yang dekat dengan PKI, kendati sebetulnya terbuka dan anggotanya tidak selalu ikut partai bahkan ideologi. Film Baja Membawa (1961) garapan Bachtiar, menurut Krishna, justru menampilkan cerita yang tidak disukai DN Aidit.
Bunga Siagian, putri Bachtiar yang menempuh studi filsafat dan menjadi anggota Forum Lenteng, mempertanyakan mitos bahwa fillm-film Bachtiar berhaluan kiri perlawanan.
Menurut Bunga, seperti dikutip Pikiran Rakyat, sejumlah aktivis dan peneliti terlalu asal-asalan ketika menganggap Bachtiar berhaluan kiri dan karya-karyanya berbau perlawanan progresif. Anggapan ini berangkat dari penelitian Krishna Sen, bahwa karya Bachtiar merujuk ke realisme sosial.
"Penelitian disertasi Krishna Sen membagi antara realisme Usmar Ismail dan realisme sosialis Bahctiar Siagian. Sayangnya, dia melakukan kritik yang tidak sebanding, Usmar dari film dan Bachtiar dari sinopsis dan skenario. Padahal, tesis Krishna Sen itu dapat terpatahkan jika kita menonton film ini. Di mana titik realisme sosialis Bachtiar?" ungkap Bunga dalam acara diskusi film Violetta di Bandung, dua tahun silam.
Misbach Yusa Biran, sineas dan penulis yang sempat bergabung ke Perfini pimpinan Usmar, menulis bahwa Bachtiar adalah sutradara yang dikenal sebagai aktivis "kiri" dan "mendirikan sanggar ini dan itu untuk menghimpun orang yang akan dia pengaruhi". Bachtiar dan para seniman pengikutnya juga sering nongkrong di Senen, yang saat itu memang populer sebagai tempat berkumpul seniman dan wartawan.
Sejak PKI mulai punya kuasa setelah Pemilu 1955, kata Misbach dalam buku Kenang-kenangan Orang Bandel (2008), terbentuk citra bahwa ada dua blok terpisah dalam dunia seni. Namun di Senen tidak terasa suasana terpecah, setidaknya hingga 1962. Para seniman Senen berusaha terlihat netral.
"Saya belajar menyanyikan lagu Karo Piso Surit dan lagu Turang yang terdapat dalam film-film Bachtiar dan asisten beliau. Saya senang lagu Karo karena melodinya mirip lagu Sunda. Saya juga senang pada film-film Bachtiar yang tidak nampak ada ideologi komunisnya," tulis Misbach.
"Yang menarik buat saya adalah tidak sedikit pun terbayang paham komunis dalam film-film Bachtiar. Paham komunis tidak berkar menjadi jalan pikirannya," imbuhnya. Bachtiar memang pernah membuat film berbau propaganda komunis, tetapi Misbach menyebut film itu terasa terlalu dipaksakan.
Bachtiar Siagian sedang melukis (Foto: Via web Kemdikbud)
Sebelum Tragedi 1965
Bachtiar lahir di Binjai, Sumatera Utara, pada 19 Februari 1923. Kakek-neneknya adalah orang Sunda. Sejak kecil, dia sudah bersentuhan dengan dunia seni lewat kedua orangtuanya.
Ibunya, pekerja perkebunan yang mahir memainkan lagu-lagu Melayu, mengenalkan Bachtiar kepada alat musik harmonium. Ketika remaja, Bachtiar ikut orkes gambus dan memainkan harmonium, lalu berpindah ke akordeon dan kadang menari japin.
Dari ayahnya, Bachtiar mengenal syair-syair kisah Timur Tengah dan Arab, teater klasik opera barat, dan tonil modern. Dia juga sering melihat pertunjukan rombongan teater yang berkeliling dari kebun ke kebun. Lalu ada "ketoprak dor", opera Cina, teater modern orang-orang Belanda, serta teater kaum intelektual Indonesia. Kelak, dia juga membuat kelompok drama di Binjai bernama Kencana yang tidak berumur panjang.
Pentas pertama Teater Kencana berlangsung di sebuah bioskop Belawan, beberapa bulan setelah Jepang menguasai nusantara. Bachtiar menjadi sutradara dan pemain utama. Sambutan meriah. Begitu babak kedua dimulai, polisi militer Jepang naik panggung dan membubarkan pertunjukan. Dia dan seorang rekannya ditangkap, disiksa, dan dikurung dua pekan di kerangkeng tanpa atap.
Setelah sempat membuka warung, Bachtiar dan istrinya bergabung dengan grup teater profesional di Banda Aceh. Dari situ, dia kenal dengan penulis naskah teater Saleh Umar. Salah satu naskahnya yang terkenal, Corak Dunia, kelak diadaptasi Bachtiar ke film panjang.
Menurut Krishna Sen, seperti ditulis dalam artikel The Conversation, satu-satunya pendidikan formal Bachtiar hanyalah sekolah dasar. Dia dibantu oleh seorang wanita Belanda, pemilik rumah tempatnya bekerja. Sebagian besar ilmu mengenai perfilman didapat lewat bekerja dan belajar mandiri.
Pada usia 20-an, ketika koloni Jepang masih berkuasa, Bachtiar berkenalan dengan medium film lewat Kapten Nakamura dari Jepang. Dia diminta membantu produksi film semi dokumenter tentang Tonari Gumi (1944) dengan film seluloid hitam putih 16 mm.
Setelah itu, menurut catatan Sinematek, dia ikut melawan tentara koloni Belanda dengan bergabung ke Laskar Rakyat dan Badan Kongres Pemuda, serta menjadi Perwira TNI selama 1947-1950. Begitu keluar dari tentara, Bachtiar menjadi penulis kolom koran-koran Medan dan belajar menulis naskah film. Dia menyerap teori dari buku Film Art tulisan Pudovkin terjemahan Cina, yang telah dibaca sejak 1948 atas bantuan seorang teman.
Proyek film pertama Bachtiar berjudul Musim Badai, tetapi batal karena masalah keuangan. Naskah yang menjadi film debut adalah Kabut Desember (1955) produksi Muara Film. Naskah ditulis selama kunjungan ke beberapa negara Eropa dan Asia. Setelah jadi, Kabut Desember diputar terlebih dulu di Cekoslovakia, Italia, dan Tiongkok.
"Ada orang-orang film senior yang 'melecehkan' aku karena aku belum pernah jadi sutradara dan tahu-tahu menyutradarai film dengan pemain kelas satu seperti Dhalia," tulis Bachtiar dalam memoar.
Film kedua adalah Corak Dunia, yang diadaptasi dari naskah teater tulisan Saleh Umar. Ini menjadi film pertama Bachtiar yang diputar secara reguler di Indonesia, sebelum diedarkan di Tiongkok, Vietnam, dan Korea. Menurut Bachtiar, tokoh pendidikan Pak Kasur memuji film ini sebagai film pendidikan yang bagus.
Hingga 1964, hampir setiap tahun ada sedikitnya satu film rilis karya Bachtiar. Tahun tanpa filmnya adalah 1958, ketika Bachtiar punya peran dalam "politik" perfilman dengan menjadi Ketua Lembaga Film Indonesia. Sejak 1957, Bachtiar sudah menunjukkan perhatian terhadap pendidikan film dengan menulis sejumlah artikel teoritis. Salah satunya adalah tujuh episode artikel Pelajaran Sinematografi di Majalah Purnama.
Selain Lekra dan LFI, Bachtiar sempat menjadi pengurus Sarikat Buruh Film dan Seni Drama (Sarbufis) dan serta sekretaris jenderal Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).
Ketika perseteruan PKI dengan militer pecah pada September 1965, Bachtiar ikut terseret gelombang "bersih-bersih" PKI. Menurut Indra putranya, seperti diceritakan kepada Detik-X, waktu itu Bachtiar sedang berada di Bali untuk menyiapkan proyek film Karmapala. Dalam perjalanan pulang, kata Indra, Bachtiar melihat kepala orang dipajang di pinggir jalan Banyuwangi.
Bachtiar bersembunyi. Tak lama, dia tertangkap dan ditahan tanpa diadili. Tempat tahanan pertama adalah Salemba. Lalu dipindah ke Tangerang, Pulau Nusakambangan, hingga akhirnya ke Pulau Buru Maluku hingga 1977. Setelah 12 tahun menjadi tahanan politik, karier Bachtiar sebagai pembuat film tidak lagi sama.
Bachtiar Siagian (Foto: Via web Kemdikbud)
Setelah Bebas dari Buru
"Kalau masih mengizinkan, saya ingin tetap bekerja di bidang perfilman. Namun saya harus banyak berlajar dan menonton film nasional sebanyak-banyaknya karena selama ditahan, saya gelap sama sekali tentang perfilman kita," kata Bachtiar kepada Pos Film di rumah Kebayoran Lama, beberapa hari setelah pulang.
"Saya hanya bekerja di sawah dan sudah pandai bertani. Selain bertani, kami diajarkan menganyam, membuat tikar, keranjang, dan pekerjaan tangan lain. Saya juga telah kembali melukis, tetapi melukis dengan pelepah pisang. Saya pernah melukis Presiden Suharto dan lukisan-lukisan saya sudah dibeli orang selama di tahanan," lanjutnya.
Bachtiar dibebaskan bersama sejumlah tahanan pada Desember 1977. Selama ditahan belasan tahun, dia merasa semakin dekat dengan Tuhan dan memperteguh iman. Pos Film juga menuliskan bahwa Bachtiar mengaku ikhlas dan tidak mendendam.
Dalam wawancara itu, Bachtiar bercerita bahwa dia telah menyimpan begitu banyak cerita, termasuk drama, komedi, dan spiritual. Namun dia ingin mencari tempat tinggal lebih dulu, sebelum kembali ke jalur sutradara.
Namun cap "eks tapol" dari pemerintah membuat perjalanan karier Bachtiar serba sulit. Pemerintah orde baru memang membuat aturan khusus bagi eks tahanan politik seperti Bachtiar dan keturunan mereka. KTP mereka diberi kode khusus. Menurut Indra, seperti dilaporkan Detik-X, ayahnya memakai nama samaran untuk bekerja. Bunga menyebut ayahnya menjadi jarang berhubungan dengan sesama eks tahanan politik.
"Dia seperti trauma dan menjaga diri demi keluarga," kata Bunga, seperti dikutip Detik-X.
Keterlibatan Bachtiar dalam film hanya sebatas menulis naskah film cerita, film dokumenter, dan radio dengan nama samaran. Sejumlah film yang dirilis di bioskop antara lain Mendulang Cinta, Membelah Kabut Tengger, dan Busana dalam Mimpi. Dia tinggal di Jakarta hingga sebelum meninggal pada 19 Maret 2002.
Ketika dibebaskan pada 1977, tidak hanya masa depan perfilman Bachtiar yang dihambat. Masa lalu juga diberangus. Bunga, seperti dikutip Pikiran Rakyat, menyebut bahwa pemerintah menyita film-film karya Bachtiar dan sutradara lain di Lekra. Selain Violetta yang kini masih tersimpan di Sinematek, bagian dari sejarah perfilman Indonesia ini sangat sulit didapatkan.
Bunga juga pernah ke Vietnam untuk mencari film Bachtiar yang pernah diputar di festival. Namun akses terhadap arsip ini butuh dukungan pemerintah.
"Barang-barang termasuk film di festival Vietnam tahun 1960-an dinyatakan sebagai barang sitaan perang. Jadi, kalau (mengakses) sendiri itu sangat susah, tidak mungkin, harus hubungan resmi antar-negara," kata Bunga.
(ASA)
http://hiburan.metrotvnews.com/eksklusif/zNP017VN-bachtiar-siagian-sutradara-yang-dicap-komunis-dan-karyanya-dilenyapkan
No comments:
Post a Comment